Ranjang Ukir Palik asal desa Berbeluk kecamatan Arosbaya, Laris disaat Musim Manten-Foto: Amin Sohib/MC.com
Maduracorner.com,Bangkalan- Keberadaan ranjang ukir
palik di Madura khususnya di Kabupaten Bangkalan masih tetap eksis.
Meski sekarang banyak model-model ranjang hasil kreasi teknologi dengan
gaya glamour.
Namun, dengan ciri khas ranjang yang terbuat dari kayu itu tidak
lekang di makan jaman. Sejak tahun 1955, warga di Desa Berbeluk,
Kecamatan Arosbaya dan di desa lain di kabupaten Bangkalan tidak pernah
mengubah cirri khas yang terdapat pada keempat tiang dengan ukiran
melingkar sebagai penyangga ranjang. “Paling-paling hanya menambah
ukiran siantara tiangpenyangga,” ujar pengrajin ranjang ukiran palek,
Toyyib.
Menurut pria yang sejak tahun 1987 ini menggeluti kerajinan ranjang
palik ini menuturkan bahwa pemberian nama palik ini dikarenakan pada
keempat tiang penyangganya terdapat ukiran melingkar yang disebut orang
Madura palik (mulet, bahasa Jawa). “Dulu tidak ada hiasan ukiran lainnya
selain di empat tiang itu,” jelasnya.
Selama bergelut di seni ukir ranjang palik ini, Toyyib memaparkan bahwa telah ada sedikit pergeseran dalam hal bahan
dasar yang digunakan. Jika jaman dahulu, keberadaan kayu jati sebagai
bahan dasar sangat mudah dijumpai, sekarang sangat sulit dan harganya
melabung tinggi.
Sehingga pemakaian bahan dasar dengan menggunakan kayu jati sudah
agak langka. Untuk itu, ia memutuskan untuk menggunakan kayu jenis
akasia yang mana kekuatannya tidak beda jauh dengan kayu jati. “Kalau
pembeli pesan ranjang dengan kayu jati, pasti ada. Tapi, harganya sangat
beda dengan menggunakan kayu akasia,” terangnya
Untuk ranjang ukir palik yang menggunakan kayu jati, ia mematok harga
sebesar Rp 4,5 juta hingga Rp 5 juta. Sedangkan untuk ranjang dengan
kayu akasia, harganya Rp 3 juta hingga Rp 3,5 juta. “Dalam setiap
bulannya, selain bulan lamaran, saya bisa menjual 3 hingga 4 unit atau
Rp 10 juta per bulan,” katanya.
Kendati demikian, masih saja banyak pembeli, khususnya para orang
kaya, tetap milih menggunakan kayu jati. “Mereka (orang kaya) sudah
sangat percaya dengan kekuatan kayu jati meski harus membayar mahal,”
paparnya.
Menurut, Toyyib, mahalnya harga ranjang palik ini juga disebabkan oleh proses pengukiran yang terbilang cukup rumit.
Untuk empat tiang dengan guratan melingkar ke atas itu, pengukirannya tidak bisa dilakukan dengan alat otomatis.
“Tidak bisa dengan mesin bubut. Harus dengan pahat,” jelasnya.
Pasalnya, batang kayu yang dijadikan tiang palik itu, akan lebih kecil pada pangkalnya. Untuk sektsanya saja, harus
dengan gergaji sebelum diukir dengan menggunakan pahat. “Setelah baru dihaluskan dengan amapalas,” ujarnya.
Adapun ukuran setiap ranjang tersebut adalah 1,5 meter x 2,25 meter.
Untuk tiang palik nya, tinggi 2 meter dengan diameter 12 sentimeter.
“Tergantung pesanan. Yang penting ukurannya simetris,” paparnya.
Muhyan. Pegrajin Ranjang Palik
Muhyan, pengrajin lainnya mengatakan bahwa selain kekuatannya
tergantung pada kayu, pembuatan ranjang palik ini juga tergantung pada
proses pengukuran keempat sisinya. Menurutnya, ranjang akan tahan lama
jika jarak pada keempat siku yang ditopang oleh tiang-tiang tersebut,
jaraknya harus simetris. “Harus jeli dalam hal ini. Ranjang akan tahan
lama jika sudah tepat ukurannya,” ujarnya.
Dalam mengembangkan bisnis ukiran ini, Muhyan mengatakan bahwa
kendalanya adalah modal. Dalam hal ini ia berharap akan ada seorang
pemodal yang bisa memberikan pinjaman dengan bunga ringan. Kekurangan
modal juga berpengaruh pada tahap penjualan hasil karyanya. “Jika
pesanan sedang sepi, kami setor ke para agen (penjual) yang mampu lebih
cepat memasarkan. Karena mereka banyak relasinya,” tuturnya.
Namun, apa yang ia lakukan tidak berlaku bagi pengrajin lainnya yang
mempunyai modal besar. Meski tidak ada pesanan, meraka tatap saja
produksi. “Hasilnya mereka simpan meski dalam jumlah banyak,” katanya.
Hal tersebut dibenarkan oleh Kades setempat, Ajib. Kebutuhan modal,
menurutnya, telah menajadi keluhan para pengrajin sejak lama. Dalam
pandangannya, semakin pengrajin itu mempunyai modal besar, semakin cepat
pula ia mendapatkan bahan dasar yang dipesan pembeli. “Kebanyak orang
berduit lebih senang dengan kayu jati. Dan itu membutuhkan modal besar
untuk beli kayu jati,” jelasnya.
Pengusaha kayu dan juga pemilik sawmild, Syaiful, 35, warga Desa
Bengsereh, Kecapatan Sepuluh, menuturkan bahwa untuk jenis kayu jati,
satu gelondong dengan diameter 10 sentimeter harganya berkisar Rp 750
ribu. “Itu sudah ongkos potongnya,” jelasnya. (min)